A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang syamil, menjadi pemandu hidup manusia sempurna. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia menuju tata kehidupan yang baik, damai, menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Dalam salah satu perspektif di dalam Islam terdapat hal hal yang Tsawabit atau tetap. Hal tersebut merupakan hal yang menjadi prinsip pokok dan tidak akan berubah sepanjang masa. Di sisi lain ada pula hal yang bersifat mutaghoyyirot atau dapat berubah. Hal semacam ini adalah termasuk yang bisa berubah sesuai dengan konteks ruang dan waktu pelaksanaan Islam.
Salah satu hal prinsip yang merupakan doktrin utama Islam adalah pengakuan kerosulan Muhammad SAW. Doktrin ini menjadi salah satu sumpah seseorang masuk menganut Islam, sebagaimana bunyi syahadatain: ” أشهد أن لاإله إلا الله و أشهد أن محمد رسول الله ”, yang artinya: “Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”. Doktrin yang menjadi keyakinan umat Islam ini membawa pada konsekuensi penempatan Rosulullah Muhammad SAW sebagai panutan dan tauladan dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini diyakinkan oleh Allah dalam Q.S. al Ahzab, ayat 21:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآَخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا (الأحزاب : 21)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (Q.S. al Ahzab : 21)
Berkaitan dengan kewajiban menauladani Rosulullah, beliau juga memberikan sebuah hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ
“Bahwa Rosulullah SAW bersabda: Aku tinggalkan ditengah tengah kamu dua perkara yang membuat kamu tidak akan tersesat selamanya selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Nabi Nya” (H.R. Malik).
Hal yang kemudian menjadi polemik dan menuntut penuntasan yang serius adalah ketika ditemukan sebuah riwayat menyampaikan contoh perilaku rosul dan harus ditaati sebagai sebuah sunnah, tetapi ia seakan akan bertentangan dengan akal sehat manusia, atau dengan kata lain seakan akan tidak masuk akal jika rosul menyampaikan demikian. Salah satu hal contoh polemik dalam konteks ini adalah mengenai hadits tentang larangan isbal.
B. Pengertian Isbal
Isbal dapat diartikan sebagai melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki . Dari sisi bahasa, kata isbal berasal dari masdar dari “asbala”, “yusbilu-isbaalan”, yang bermakna “irkhaa-an”, yang artinya; menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul 'Aroby rahimahullah dan selainnya adalah: memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak. [Lihat Lisanul 'Arob, Ibnul Munzhir 11/321, Nihayah Fi Gharibil Hadits, Ibnul Atsir 2/339]
Ada banyak hadits yang berbicara tentang larangan isbal ini. Masalah ini jadi polemik karena disatu sisi hadits tentang masalah ini ada dan banyak jumlahnya serta dengan tingkat keshahihan yang diterima, sementara di sisi lain ada argumentasi ‘aqliyah yang mempertanyakan apa sesungguhnya yang ada di balik larangan isbal ini? Mengapa memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki dianggap sebuah kesalahan besar dengan ancaman neraka? Pendapat pertama meyakini ini sebuah perintah syar’i yang cukup ditaati saja. Sementara golongan kedua meyakini terdapat illah (sebab hukum) yang melatarbelakanginya.
C. Hadits hadits tentang larangan isbal
Di antara hadits yang berbicara masalah ini adalah sebagai berikut:
1. Hadits Riwayat al Bukhori
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّار ِ
“Dari Abu Huroiroh r.a., dari Nabi SAW bersabda: “Sesuatu yang berada di bawah mata kaki dari pakaian (sarung) adalah di dalam neraka” (H.R. al Bukhori)
2. Hadits ini dengan sanad yang hampir sama juga diriwayatkan oleh an Nasa’i sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ أَخْبَرَنِي سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ وَقَدْ كَانَ يُخْبِرُ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ
“Dari Abu Huroiroh r.a., dari Nabi SAW bersabda: “Sesuatu yang berada di bawah mata kaki dari pakaian (sarung) adalah di dalam neraka” (H.R. an Nasa’i)
D. Otentisitas Hadits
Kedua hadits di atas adalah dua di antara sekian hadits yang berbicara tentang isbal. Sesuai dengan ketentuan kesahihan hadits termasuk hadits shahih. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhori dan yang satu oleh Nasa’i, melalui sanad yang terpercaya, mereka adalah Adam bin Abi Iyas, Syu’bah bin al Hajaj bin al Warid, Sa’id bin Abi Sa’id al Kaisani dan Abdurrahman bin Shokhor, dari Abu Hurairah. Dari sisi keadilan dan ketersambungan sanad hadits ini dapat diterima sehingga layak dirujuk menjadi landasan syar’i.
E. Fiqih Hadits
Sebagai hadits yang dinyatakan shahih, maka hadits tentang larangan isbal tersebut harus digunakan sebagai salah satu landasan berpakaian sesuai dengan tata cara Islam. Dalam konteks ini, berpakaian tidak diperkenankan terlalu panjang hingga menutup mata kaki. Jika yang demikian dilakukan maka sesuai dengan bunyi nash tersebut, pelakunya diancam dengan hukuman neraka.
Hadits larangan isbal tersebut dikuatkan oleh hadits lain mengenai perilaku Sahabat Ibnu Umar dalam berpakaian, khususnya mengenai pakaian beliau yang tidak sampai menutupi mata kaki (isbal)
حدثنا أبو بكر قال حدثنا أبو الأحوص عن أبي يعفور قال : رأيت ابن عمر وإن إزاره إلى نصف ساقه أو قريب من نصف ساقه
“Dari Abu Ya’fur berkata: Saya melihat Ibnu Umar, sesungguhnya sarung beliau sampai setengah betis atau dekat dengan setengah betisnya.”
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ أَنْبَأَنَا شَرِيكٌ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ حُصَيْنِ بْنِ قَبِيصَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا سُفْيَانَ بْنَ سَهْلٍ لَا تُسْبِلْ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ
“Dari Mughirah bin Syu’bah berkata: Rosulullah SAW bersabda: “Wahai Sufyan bin Sahl, janganlah kamu isbal, karena sesunguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang isbal”. (H.R. Ibnu Majah)
Beberapa hadits tersebut cukup meyakinkan bahwa riwayat ini benar benar otentik dari Rosulullah SAW. Persoalannya kemudian, keotentikan hadits ini mengalami perbedaan perbedaan pendapat. Di antaranya mempertanykan, apa sesungguhnya yang ada di balik larangan keras Rosulullah dalam isbal? Biasanya ancaman berat muncul pada masalah yang berkaitan dengan masalah aqidah, mengapa ini muncul pada masalah pakaian? Benarkah Rosul memberikan ancaman nerakan pada pelaku isbal tanpa ada alasan lain yang lebih dari sekedar pakaian saja? Kiranya berbagai pertanyaan tersebut menjadi polemik yang panjang dengan argumentasi yang bermacam macam.
1. Yang mewajibkan untuk menjauhi isbal (mengharamkan isbal) secara mutlak. Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hadits ini sudah cukup jelas sebagai sebuah landasan syari’ah untuk diamalkan. Hadits tersebut bersifat mutlak, artinya isbal itu sesuai lafadz hadits haram hukumnya tanpa alasan apapun. Sehingga dapat tarik kesimpulan bahwa mengenakan pakaian di bawah mata kaki (isbal) diharamkan oleh Islam sebagaimana sabda sabda Rosulullah SAW.
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa mengisbalkan pakaian ada dua bentuk, pertama adalah menjulurkan pakaian hingga ke tanah dan menyeretnya. Bentuk kedua adalah menurunkan pakaian hingga menutupi mata kaki tanpa berakar pada kesombongan. Jenis yang pertama adalah orang yang mengisbalkan pakaiannya hingga ke tanah disertai dengan kesombongan. Nabi Muhammad SAW telah menyebutkan bahwa pelakunya menghadapi empat hukuman: Allah tidak bicara dengannya pada hari kiamat, tidak melihatnya (dengan pandangan rahmat), tidak menyucikannya serta mendapat adzab yang pedih . Adapun mereka yang memanjangkan pakaiannya hingga menutupi mata kaki bukan karena kesombongan hukumannya lebih ringan. Dalam hadits Abu Hurairah Nabi hanya menyebutkan satu hukuman saja, yaitu dia akan dihukum (bagian kakinya) dengan dengan api neraka sesuai dengan ukuran pakaian yang turun di bawah mata kaki tersebut, tidak merata seluruh tubuh .
2. Yang membolehkan isbal. Bagi sebagian ulama’ yang lain isbal tidak diharamkan secara mutlak. Pada umumnya hadits dengan ancaman yang berat, seperti akan mendapatkan hukuman masuk neraka selalu berkaitan dengan masalah aqidah. Masalah isbal dikategorikan bukan masalah aqidah, sehingga sebagian ulama’ berpendapat bahwa haramnya isbal tentu memiliki illah tertentu yang perlu diungkap.
Karena alasan kesombongan. Dalam hadits lain, terdapat taqyid terhadap hadits isbal yang telah disebutkan di muka. Taqyid tersebut memberikan gambaran sebuah illah mengapa isbal itu diharamkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ (رواه البخاري)
“Dari Abdullah bin Umar r.a. berkata : Rosulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat”, Abu Bakar mengeluh: “(Wahai Rosulullah) Sesungguhnya salah satu sisi sarung (pakaian bawah)ku (melorot) turun (melebihi batas mata kaki) kecuali kalau akau (senantiasa) menjaga sarungku dari isbal”. Rosulullah SAW bersabda: “Engkau bukan yang termasuk melakukannya karena sombong. (H.R. Bukhari)
Dikatakan bahwa Abu Bakar pakaiannya melorot hingga menutupi mata kakinya. Karena beliau melakukannya bukan untuk kesombongan, Rosulullah mengatakan bahwa beliau bukan termasuk yang akan diadzab pada hari Kiamat. Dari hadits ini sebagian ulama’ mengatakan bahwa kesombongalah yang menjadi illah hukum isbal. Karena itu siapa saja, sebagaimana Abu Bakar dibolehkan isbal selama tidak dibarengi dengan sikap sombong.
Dalam hadits yang lain lagi juga dijelaskan:
أَوْصَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا تَزْهَدْ فِي الْمَعْرُوفِ وَلَوْ مُنْبَسِطٌ وَجْهُكَ إِلَى أَخِيكَ وَأَنْتَ تُكَلِّمُهُ وَأَفْرِغْ مِنْ دَلْوِكَ فِي إِنَاءِ الْمُسْتَسْقِي وَاتَّزِرْ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَاللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ
“… Dan kenakanlah pakaian (sarung) kamu sampai setengah betis, jika kamu enggan maka sampai dua mata kaki, dan jauhilah mengisbalkan pakaian, karena sesungguhnya (isbal itu) bagian dari kesombongan, dan Allah tabaroka wata’ala tidak menyukai kesombongan” (H.R. Ahmad)
Menurut hadits di atas dijelaskan bahwa perilaku isbal adalah bagian dari kesombongan. Berdasarkan hadits ini dan hadits serupa, para ulama’ yang berpendapat perlunya diketahui illah dibalik pengharaman isbal menemukan kesombongan sebagai illah. Berbeda dengan hadits sebelumnya, kesombongan dalam kasus Abu Bakar bersifat kesombongan yang tidak selalu melekat dengan perilaku isbal. Artinya orang bisa saja berisbal dengan kesombongan maupun tidak. Dalam hadits ini isbal melekat dengan kesombongan. Karena itu dapat dipahami bahwa setiap perilaku isbal adalah perilaku sombong. Dan kesombongan itulah yang menjadi illah mengapa isbal diharamkan dan pelakunya diancam hukuman yang demikian berat.
Mengapa kesombongan melekat dengan isbal, belum ada jawaban yang kuat dan meyakinkan. Dalam masalah ini, sebagian kalangan berspekulasi bahwa perilaku isbal itu secara urf menjadi simbol kesombongan pada zaman nabi. Orang orang kaya menunjukkan kesombongannya dengan berlebih lebihan dalam berpakaian, termasuk memanjangkan pakaian sampai menutupi mata kaki atau lebih dari itu menyentuh dan diseret di atas tanah. Benar tidaknya spekulasi ini masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Lepas dari alasan mengapa isbal melekat dengan kesombongan, ulama’ memaknai kesombonganlah yang menjadi illah diharamkannya isbal. Dengan prinsip berfikir demikian, isbal yang tidak dilandasi dengan kesombongan dibolehkan.
Dari perspektif yang lain hadits Umar bin Khothob mengatakan:
ارفع إزارك فإنه أتقى لربك وأنقى لثوبك
“Angkatlah pakaianmu karena hal itu lebih bersih bagi pakaianmu dan engkau lebih bertaqwa pada Rabbmu”. (H.R. Bukhari)
Diluar istilah sombong yang melatarbelakangi pengharaman isbal, ditemukan illah untuk menjaga kebersihan pakaian. Alasan ini dapat diterima secara ‘aqliyah, yaitu masuk akal mengangkat pakaian tidak terlalu ke bawah demi menjaga kebersihan. Tetapi berdasarkan tingkat kekuatan hadits dapat dijadikan sandaran hukum, hal ini bukanlah hadits yang marfu’ (sampai kepada Rasul) serta tidak banyak jalan periwayatannya, sehingga bersihnya pakaian dalam konteks ini lebih bisa diterima sebagai hikmah larangan isbal, sementara taqwa dapat lebih bersifat umum sebagai hasil ketundukan dan ketaatan menjalankan perintah Allah yang dalam konteks ini adalah meninggalkan isbal.
Alasan selain tanpa kesompongan. Di samping temuan mengenai latar belakang kesombongan, muncul pendapat pendapat lain juga, seperti keharaman isbal hanya berlaku untuk pakaian sarung dan isbal hanyalah masalah kecil serta bukan inti agama. Kedua wacana ini tidaklah didasari argumentasi yang kuat. Mengenai keharaman hanya berlaku untuk kain sarung hanya didasarkan pada istilah izar dalam lafadz hadits yang berarti sarung. Persoalan ini adalah persoalan budaya pakaian yang pernah berkembang di zaman nabi dan persoalan alih bahasa dari bahasa Arab ke Indonesia. Meskipun dalam teks hadits tertulis izar (sarung) maksudnya bukanlah demikian karena model pakaian yang diikuti masyarakat Arab adalah model jubah seperti sarung. Sementara masalah bukan inti agama, menurut hemat penulis tidak terlalu tepat didiskusikan dalam konteks ini. Hal ini karena persoalan ini telah berangkat dari teks hadits yang otentik (shahih) dalam periwayatannya.
Berbagai argumen yang mengarah pada pemubahan isbal mendapatkan bantahan balik dari mereka yang mengharamkannya. Dijadikannya hadits tentang Abu Bakar sebagai landasan bolehnya isbal tanpa kesombongan adalah lemah. Hal ini harena Abu Bakar melakukan itu secara tidak sengaja. Ketidaksengajaan Abu Bakar tidak dapat dijadikan pijakan. Alasan tanpa kesombongan juga tidak bisa di jadikan alasan, karena kesombongan itu letaknya di dalam hati, menyengaja mencari cari alasan untuk berisbal bisa menjadi bagian dari kesombongan untuk tidak mau menerima ketentuan Allah ini. Selain itu saat Rosulullah melarang para sahabat berisbal banyak diantara haditsnya yang bersifat mutlak tanpa menyebutkan alasan sombong atau menanyakan kepada para sahabat apakah perilaku isbal di antara mereka itu dilandasi kesombongan atau tidak. Dengan demikian pengharaman isbal dalam hadits tersebut adalah mutlak.
Sementara itu ulama’ yang membolehkan isbal menjawab dengan memahami berbagai hadits tersebut secara menyeluruh. Berbagai hadits yang mutlak dan yang menyertakan taqyid harus dipahami sebagai saling melengkapi informasi perintah dan larangan dari nabi. Munculnya istilah kesombongan tetap perlu menjadi faktor dalam penetapan hukum ini, apalagi dalam beberapa hadits kesombongan dilekatkan dengan isbal.
F. Kesimpulan
Dari uraian singkat mengenai polemik hadits pengharaman isbal di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
Pertama, Ulama’ bersepakat bahwa hadits tentang pengharaman isbal shahih secara sanad, tetapi berselisih dalam menyimpulkan pengharaman isbal adalah mutlak. Kedua, Ulama’ bersepakat bahwa berpakaian disertai kesombongan adalah haram tetapi berselisih dalam menjadikan kesombongan sebagai illah pengharaman isbal. Ketiga, perilaku meninggalkan isbal merupakan pilihan yang lebih baik dan lebih selamat karena memilih meninggalkan isbal lebih menjauhi polemik dan memperoleh hikmah terjaganya kebersihan pakaian. Keempat, berkaitan dengan isbal itu melekat dengan kesombongan memerlukan pendekatan historis sosiologis untuk memahaminya. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai budaya berpakaian pada zaman nabi dan sebelumnya. Wallahu a’lamu bis showab.
DAFTAR PUSTAKA
Http://www.almanhaj.or.id
Ibnu Abi Syaibah, Mushnaf Ibnu Abi Syaibah, al Maktabah Syamilah
Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, al Maktabah Syamilah
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, al Maktabah Syamilah
Imam Malik, Al Muwaththo’, al Maktabah Syamilah
Imam Nasa’i, Sunan an Nasa’i, al Maktabah Syamilah
Majelis Tarjih PWM DIY, Materi Musyawarah Tarjih tanggal 9 s.d. 10 Agustus 2008
Mitra Donasi Dakwah
- LAZISMU BATURETNO
- Yogyakarta, D.I.Yogyakarta, Indonesia
- Salurkan Zakat Infaq dan Shodaqoh anda melalui LAZISMU BATURETNO, Insya Allah akan bermanfaat untuk Santunan Anak Yatim, Santunan Dhu'afa', Santunan Pendidikan, Anak asuh, Pemeriksaan Gratis, Mobil Layanan Masyarakat, Pendampingan Usaha, dll, kontak kami di 02746609939,081805266770. Rekening Bank Syariah Mandiri Yogyakarta No. 7044479499 a.n. Yanu Milanti atau BMT Banguntapan No. Rek. 111000258. Sekarang sedang bekerjasama dengan Ranting 'Aisyiyah Baturetno mendirikan PAUD 'Aisyiyah Ceria.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
7 komentar:
Bagus pak Artikel tausyiahnya.. :)
mantaf
Sangat bagus.
Sip
Tingkatkan.
terima kasih
Semoga selalu di berikan ke istiqomahan akan hidayah sunnah ..aamiin ...
artikel yang sangat membantu bagi yg awam akhi
Borgata Hotel Casino & Spa To Launch On June 24 | JTM
Borgata Hotel Casino & 아산 출장마사지 Spa will be open for 부천 출장안마 business beginning June 서울특별 출장마사지 24. The first phase of the 이천 출장샵 service 군산 출장마사지 will begin on Tuesday, July 22. The
Posting Komentar